Kamis, 02 April 2015

Atha’ bin Abi Rabah, Ulama Mujtahid (w. 114 H.)


Atha’ bin Abi Rabah Budak Yang Menjadi Mufti Makkah


Sekitar paruh kedua dari abad pertama hijriah, di Makkah hidup seorang laki-laki berkulit hitam keturunan Habasyah yang berambut keriting, berhidung pesek, berbibir tebal, matanya buta sebelah serta kaki dan tangannya cacat. Meskipun demikian dia adalah seorang yang kharismatik yang disegani oleh penduduk Makkah. Seorang yang fatwanya diterima ketika Sahabat Nabi masih ada. Seorang yang paling mengetahui tentang hajidan seorang yang derajatnya lebih mulia dariraja.

Atha’ bin Abi Rabah Budak Yang Konsisten Dengan Waktu


Dia adalah Atha’ bin Abi Rabah, al-Makki. Teladan yang memiliki Kun-yah Abu Muhammad ini lahir pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan dari pasangan yang bernama Abi Rabah yang bernama asli Aslam (Ayah) dan Barakah (Ibu) di suatu kota yang bernama Janad, Yaman.

Ia tumbuh dewasa di Makkah. Dia Atha’ kecil menjalani kesehariannya dengan menjadi seorang budak bagi Bani Fihr (menurut sumber lain menjadi budak dari bani Jumah). Hal ini tidak membuatnya terputus untuk mereguk segarnya warisan Nabawi, Ilmu.

Ia adalah sosok yang hebat dalam membagi waktu. Ia tidak mau kehilangan waktunya dengan pekerjaan yang sia-sia. Hamper setiap guliran detik diisinya dengan aktivitas yang berguna bagi tuhan, majikan, dan dirinya. Ia gunakan waktunya dengan beribadah kepada Allah, berkhidmah kepada majikannya, dan belajar untuk mengentaskan dirinya dari kebodohan.

Rupanya, majikan Abu Muhammad tergerak hatinya untuk segera memerdekakan budaknya ketika mengetahui bahwa Atha’ adalah budak yang hebat dalam mengatur waktu untuk ibadah dan belajar.
Ad-Daraquthni berkata, “Atha’ berkata, ‘aku telah bertemu dan belajar kepada lebih dari dua ratus sahabat Rosulullah SAW.’

Di antara mereka adalah Sayidah Aisyah, Ummu Salamah, Ummu Hani’, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Hakîm bin Hazâm, Râfi’ bin Khadîj, Zaid bin Arqam, Ibnu Zubair, Abdullah bin Amr, Ibnu Umar, Zaid bin Khalid al-Juhani, Shafwan bin Umayyah, dan sahabat-sahabat yang lain.

Atha’ bin Abi Rabah Selama 20 Tahun Hidup Di Masjid


Selepas dari tali perbudakan Abu Muhammad mendedikasikan dirinya untuk ilmu. Tidak ada hari tanpa belajar disiplin ilmu. Ia fokuskan waktunya untuk belajar dan ibadah.

Meski langkah kakinya tidak sempurna disebabkan cacat pada kakinya yang dibawa sejak kecil, ia masih berusaha sekuat tenaga untuk mendatangi rumah para ilmuan sahabat atau tabiin. Ia rela menempuh jarak yang begitu jauh demi memperoleh ilmu, tanpa menghiraukan cacat pada tubuhnya.
Akibat perjuangannya yang tidak kenal lelah ini ia peroleh derajat yang begitu luhur di bidang keilmuwan. Ia begitu di segani di Masjidil Haram akibat keluasan dan kedalaman ilmunya. Ia pun di juluki Sayyidu Fuqahâil-Hijâz oleh orang-orang sekitarnya.

Karena tidak memiliki tempat tinggal tetap, ia pun memilih rumah Allah, baitullah, sebagai tempat tinggal. Ia amalkan ilmunya yang berkaitan dengan Ubudiyah di Masjid. Yahya bin Said berkata, “Bagi Atha’, Masjid adalah tempat tinggalnya selama 20 tahun. Ia adalah orang yang paling bagus salatnya.

Ibnu Juraij bercerita mengenai kebersamaan dirinya menemani Atha’ selama 13 tahun di Masjid. “Sungguh aku bersamanya 13 tahun. Di masa tuanya ketika fisiknya telah melemah, ia salat dengan membaca 200 ayat dari surah al-Baqarah dalam keadaan kokoh berdiri.

Atha’ bin Abi Rabah Adalah Orang yang Disegani Khalifah


Jangankan rakyat jelata, raja pun tunduk dan patuh ketika berhadapan dengan Abu Muhammad. Pengaruh pemerintahan takluk pada karisma ilmu yang dimiliki Abu Muhammad. Pernah suatu ketika Khalifah ke tujuh dari Bani Umayah, Sulaiman bin Abdul Malik, bersama kedua putranya mendatangi masjid untuk menemui sang mufti Makkah, yang tak lain adalah Abu Muhammad sendiri. Waktu itu, sang khalifah tidak diperlakukan selayaknya khalifah sebagaimana ketika ada di istana oleh Abu Muhammad. Bahkan  Sulaiman bin Abdul Malik rela menunggu beberapa saat sebelum memulai bertanya kepada Abu Muhammad.

Kedua putra mahkota merasa heran melihat tingkah laku Abu Muhammad yang tidak memuliakan Sulaiman bin Abdul Malik sama sekali. Sulaiman pun memecahkan keisykalan kedua putranya ini dan berkata, “Wahai anakku, pria yang kalian lihat dan aku yang berlaku hormat di hadapannya tadi adalah Imam Atha’ bin Abi Rabah, seorang yang berhak berfatwa di Masjidil Haram dan pewaris ilmu Abdullah bin Abbas, (oleh karenanya) pelajari (dan amalkan) ilmu! Sebab dengan ilmu, rakyat jelata bisa jadi mulia dan seorang budak bisa mengalahkan dersjst seorang raja.

Tidak berbeda dengan Sulaiman bin Abdul Malik, Hisyam bin Abdul Malik juga diperlakukan sama. Ketika Abu Muhammad hendak menemui Khalifah Hisyam di istana, Abu Muhammad hanya mengenakan baju yang harganya tidak lebih dari 5 dirham.

Mengetahui kalau Abu Muhammad ada di pintu istana, Hisyam menyambut dengan hangat sang mufti. Bahkan sambutannya lebih istimewa dari pada tamu Hisyam yang lain. Para bangsawan yang menjadi tamu Hisyam tidak berani angkat bicara ketika Abu Muhammad memasuki ruang tamu istana.

Hisyam bin Abdul Malik tunduk patuh dan menuruti perkataan Abu Muhammad. Di akhir perkataannya Abu Muhammad berpesan kepada Hisyam, “Takutla kepada Allah, jangan melakukan ke dzaliman. Sesungguhnya manusia dilahirkan tanpa teman, mati tanpa teman, dibangkitkan tanpa teman, bahkan di hisabpun juga tanpa teman (teman tidak bisa membantu ketika sudah berhadapan dengan Allah).

Mendengar petuah yang menusuk hati ini, Khalifah Hisyam bin Abdul Malik menangis hangga tanah di bawahnya menjadi basah.

Begitu selesai, Abu Muhammad bangun dan pulang. Ketika hendak di beri bungkusan yang berisi uang, Abu Muhammad menolak seraya mengutip ayat al-Quran yang berbunyi, “dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari tuhan semesta alam.” (QS asy-Syuara’ [26]: 109)

Jangankan uang, Abu Muhammad tidak meminum setetes air yang disuguhkan ketika diistana.

Dekat Dengan Rakyat Kecil


Sosok yang tawadu’, Zuhud, dan tampil apa adanya ini tidak hanya berdakwah dikalangan elit. Bahkan rakyat jelata pun menjadi medan dakwah sekaligus sasaran mengajarnya. Hal ini sebagaimana dialami oleh Imam Abu Hanifah ketika hendak memangkas rambutnya untuk Tahallul.
Sebelum rambutnya dipangkas, Abu Hanifah menanyakan berapa ongkos dari jasa tersebut. 

Pemangkas rambut pun menjawab bahwa orang yang berhaji tidak di tetapkan ongkos. Abu HAnifah pun merasa mali atas tingkahnya ini.

Berikutnya Abu Hanifah melakukan kesalahan lagi dengan tidak menghadap kiblat, dan tidak membaca takbir ketika tukang pangkas rambut hendak mencukur rambutnya. Lagi-lagi Abu Hanifahharus malu disebabkan orang yang mengingatkannya agar menghadap kiblat dan membaca takbir adalah tukang pangkas itu dendiri.

Abu Hanifah semakin penasaran dengan lelaki pemangkas rambut ini ketia ia di ingatkan agar segera melakukan shalat dua rakaat sebelum melakukan perjalanan ketika selesai di cukur. Setelah ditanya, tukang pangkas rambut itu menjawab bahwa beberapa perkara tadi adalah di pelajarinya dari Imam Atha’ bin Abi Rabah.

Wafatnya Imam Atha’ bin Abi Rabah


Ulama’ mujtahid yang menggantikan Abdullah bin Abbas sebagai mufti di Makkah dan pernah melakukan ibadah haji sebanyak 70 kali ini, wafat pada bulan Ramadhan tahun 114 H.

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Seo Blogger