Kamis, 11 Juni 2015

BIOGRAFI IMAM AL-ISNAWI (704-772 H)

Tak Segan Koreksi Pemikiran al-Nawawi


Nama lengkapnya Abdurahim Ibn Hasan Ibn Ali Ibn Ibrahim al-Amuwi, dikenal dengan Jamaluddin Abu Muhammad al-Isnawi. Lahir di Isna, sebuah kota subur didataran tinggi pinggir kiri sungai Nil.
BIOGRAFI IMAM AL-ISNAWI (704-772 H)

Ia lebih masyhur disebut dengan al-Isnawi, nama nisbatnya terhadap kota kelahirannya. Ada pula yang menyebutnya al-Asnawi, dengan huruf hamzah yang dibaca fathah.

al-Isnawi dilahirkan pada tanggal 20 Dzul Hijjah tahun 704 H. Sampai menginjak usia remaja, al-Isnawi berada di tengah-tengah keluarganya di Isna. Menginjak usia 17 tahun, empat tahun setelah ditinggal sang ayah, al-Isnawi remaja meninggalkan keluarga dan memperdalam agama ke Kairo dan menetap disana.

al-Isnawi berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, Hasan bin Ali bin Umar al-Isnawi (w. 717 H) adalah seorang ulama di Isna. Saudaranya Imaduddin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Umar al-Isnawi (w. 764 H) adalah seorang pakar fikih terkenal. Saudaranya yang lain, Nuruddin Ali bin Hasan al-Isnawi (w. 775 H) juga pakar fikih yang memiliki banyak karya.

Dilahirkan Dan Melahirkan Ulama Besar

Selama melakukan studi, al-Isnawi memiliki prestasi keilmuan yang cukup menakjubkan. Ia seorang murid yang cerdas. Ia berhasil menghafal kitab at-Tanbih karya Imam al-Syirazi hanya dalam waktu enam bulan. Selain itu, ia melakukan penelitian mendalam terhadap referensi-referensi penting dalam bidang fikih. Ia mempelajari dengan cermat karya besar Imam al-Nawawi, al-Raudhah juga karya Imam ar-Rafi’i, al-syarhul-Kabir. Tidak ada sedikitpun celah yang tidak beliau pahami dari dua kitab besar ini. Selain itu ia juga mengkaji secara mendalam kitab al-Hawi karya al-Mawardi dan al-Syamil karya Ibn Shibagh.

al-Isnawi mendalami karya besar Imam al-Syafi’i, kitab al-Umm (Kitab Induk). Begitu juga karya-karya murid al-Syafi’i seperti ringkasan (Mukhtashar) al-Muzanni dan al-buwaythi.

Kepakaran al-Isnawi didapat berkat didikan guru-guru besar dimasanya. Ia belajar fikih kepda Taqiyuddin al-Subki, Majd al-Zankiluni, dan Imam al-Zarkasyi (w. 792). al-Isnawi juga mendalami kesusastraan dan tata bahasa arab dari Abu Hasan al-Nahwi, Abu Hayyan al-Dalusi dan Majduddin al-Fairuzabadzi yang dikenal dengan sebutan Shahib al-Qamus . ia juga mendalami Hadis dari al-Dabusi, Abd al-Muhsin al-Shabuni dan Abd Qadir Ibn Muluk.

Selain menimba Ilmu, al-Isnawi juga menyiramkan ilmu. Tangan al-Isnawi berhasil melahirkan beberapa ulama’ besar, seperti Ibn Imad (w. 808 H), Ibrahim al-Baijuri (w.825 H) Ibn Husain al-Maraghi (w. 819 H), dan Abu al-Baqa’ al-Dumayri (w. 808), pengarang Hayatul-Hayawan.

Melambung Dikancah Hukum Islam

al-Isnawi menguasai banyak bidang keilmuan. Selain pakar fikih, al-Isnawi juga pakar Ushul Fikih, Nahwu, Arudh (teknik pembuatan syair), dan lain sebagainya. Dari sekian banyak bidang itu, yang paling menonjol adalah fikih dan ushul fikih.

al-Isnawi adalah pengikut madzhab Syafi’i. Di Mesir, ia termasuk ulama’ tenar dalam bidang fikih madzhab Syafi’i. Ia diangkat sebagai dewan fatwa madzhab Syafi”i di Mesir.

Keahlian al-Isnawi yang sangat hebat dibidang fikih tergambat dari karyanya Syrhul-Minhaj. Kitab ini merupakan Syarah dari kitab Minhaj al-Thalibin, karya al-Nawawi. Ia juga menulis Syarh al-Tanbih. Selain itu ada beberapa karya dari al-Isnawi yang masih belum rampung karena keburu wafat, seperti Talkhish al-Rafi’. Kitab ini ditulis oleh al-Isnawi sampai pada bab Bai’ (Jual-Beli).
Sedangkan dibidang ushul fikih al-Isnawi menulis al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul. Kitab ini selesai di usianya yang sudah hampir udzur pada tahun 768 H. Di bidang ini, al-Isnawi juga telah menulis Syarh dari kitab al-Minhaj karya Qadhi al-Baidhawi (w. 615 H).

al-Isnawi termasuk ilmuwan yang berani berpolemik. Ia tidak segan-segan mengkeritik al-Rawdhah, karya besar an-Nawawi yang menjadi rujukan sangat penting dalam bidang fikih. Untuk keritikannya itu, al-Isnawi menyusun sebuah kitab khusus dengan judul al-Muhimmat.

Keberanian al-Isnawi ini memancing polemik fikih yang cukup hangat. Ulama mendukung al-Isnawi tidak seberapa banyak dibanding yang menentangnya. Ada 16 karya yang ditulis oleh ulama fikih khusus untuk menolak kritikan al-Isnawi. Hal ini juga terlepas dari pengaruh Imam al-Nawawi yang sangat kuat di kalangan pengikut madzhab Syafi’i.

Ibn Imad, salah satu murid al-Isnawi, termasuk ulama yang menolak keritikan terhadap al-Raudhah itu. Ia menulis al-Ta’liq Ala al-Muhimmat. Disitu Ibn Imad banyak mengungkap kesalahan keritik dari al-Isnawi yang disebabkan oleh tidak paham dan tidak bisa menolak persoalan.

Bersama Masyarakat

Meski menjadi orang besar di Mesir, al-Isnawi tetap selalu menampakkan sikap rendah hati. Ia dikenal sangat baik pada orang-orang di sekitarnya. Tutur katanya manis dan ramah, sehingga ia disenangi oleh masyarakat dari berbagai kalangan.

Kelebihan-kelebihan ini membuat kata-kata yang keluar dari al-Isnawi mudah di terima. Rangkaian kalimatnya begitu halus ketika memberi nasehat, ia tidak berbelit-belit namun mengena. Sehingga, orang yang mendapat nasehat menyadari kesalahannya, tanpa sedikitpun memanggul perasaan marah dan tersinggung.

Namun demikian, al-Isnawi tetap keritis jika melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan pikiran dan perinsipnya. Ia pernah diangkat menjadi pemimpin Hisbah dan perwakilan Bayt al-Mal (keuangan negara). Tapi, pada akhirnya ia mengundurkan diri dari dua jabatan penting itu, konon karena berseteru dengan Ibn Quzaynah, salah satu mentri.

Wafat

Imam al-Isnawi wafat di usia 67 di pertengahan tahun 772 H, tepatnya pada malam Ahad 18 Jumadil Ula. Kepergiannya menyisakan rasa kehilangan yang begitu besar terutama dari masyarakat Mesir. Jenazahnya diantar dari gubahan-gubahan syair kesedihan sampai di peristirahatan terakhirnya. Melihat pemakaman itu, kata al-Zarkasyi, sangat layak bila al-Isnawi disebut sebagai wali.

Semoga Bermanfaat. Silahkan diShare, Like, Atau Komentar

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Seo Blogger