Kamis, 28 Mei 2015

AL-IMAM AN-NASA’I (215-303 H)

KITABNYA PALING SHAHIH SETELAH KITAB BUKHARI-MUSLIM


Abad ke-3 hijriah adalah sebuah masa dimana pembukuan hadis sedang semarak. Dan Ishaq bin Rahawaih (161-238 H) adalah salah satu motor penggeraknya. Usaha ishaq ini dilanjutkan dan ditingkatkan oleh murid-muridnya, termasuk juga dilanjutkan oleh an-Nasa’I dengan kitab sunannya.

KITABNYA PALING SHAHIH SETELAH KITAB BUKHARI-MUSLIM Abad ke-3 hijriah adalah sebuah masa dimana pembukuan hadis sedang semarak. Dan Ishaq bin Rahawaih (161-238 H) adalah salah satu motor penggeraknya. Usaha ishaq ini dilanjutkan dan ditingkatkan oleh murid-muridnya, termasuk juga dilanjutkan oleh an-Nasa’I dengan kitab sunannya.


RIHLAH HINGGA PERBATASAN ROMAWI
Dalam kehidupan sehari-hari beliau lebih sering dipanggil nama kun-yahnya, Abu Abdirrahman. Sedangkan nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Sinan bin Bahr. Lahir pada tahun 215 H disebuah desa yang bernama Nasa, wilayah Khurasan yang sekarang berada di daerah Turkmenistan.

Abu Abdirrahman menjalani masa kacilnya hingga usia remaja di Nasa. Dan dimasa inilah beliau menimba ilmu disalah satu madrasah Nasa. Dalam menuntut ilmu Abu Abdurrahman terkenal dengan ketekunan dan kegigihannya. Keteguhan dan kegigihan tersebut dibuktikannya dengan berhasil menghafal al-Qur’an sejak kecil.

Karena ilmu adalah cahaya, maka ketika usia Abu Abdurrahman belum genap 15 tahun, beliau membulatkan niat untuk meninggalkan tempat kelahiran dengan melakukan rihlah ke berbagai daerah guna mencari cahaya ilmu yang tersebar dipusat-pusat keilmuan islam. Dengan demikian hati beliau mendapat tambahan cahaya keilmuan seiring dengan bertambahnya guru dan semakin jau rihlah yang beliau tempuh.

Dalam lawatan ilmiah beliau pernah singgah di daerah Baghlan. Di sana Abu Abdurrahman berguru kepada Qutaibah bin Said, salah satu guru Imam Muslim. Ini terjadi pada tahun 230 H. bersama sang guru beliau lalui selama 14 bulan, sehingga diakhir perjumpaannya dengan Qutaibah bin Said beliau telah menguasai berbagai disiplin ilmu,termasuk Hadis.

Cakupan daerah atau kota yang pernah disinggahi oleh Abu Abdurrahman begitu luas, sehingga ia bisa mempelajari dan mendengarkan berbagai macam disiplin ilmu dan membuat keilmuan beliau tidak diragukan lagi. Diantaratempat yang pernah beliau singgahi dalam rangka mencari ilmu adalah Khurasan; Irak yang mencakup Baghdad, Kufah, Bashrah, dan Mosul; Syam;Hijaz; Mesirdan perbatasan wilayah islam dengan kkekuasaan Romawi.

DEMI RIDHA GURU

Selain popular dengan nama Abu Abdurrahman, beliau juga sering disebut dengan nama an-Nasa’I, sebuah nama yang dinisbatkan pada tempat kelahiran beliau. Bahkan nama inilah yang akhir-akhir ini disematkan kepada guru dari Ja’far ath-Thahawi ini.

Imam an-Nasa’I adalah potret seorang murid yang gigih, dan semangat yang tertancap dalam dirinya seakan enggan untuk luntur. Terbukti orang yang pernah menjadi guru an-Nasa’I begitu banyak. Bahkan beliau menulis suatu kitab siapa saja yangpernah mengajar dan pernah meriwayatkan hadis kepada Imam an-Nasa’I. kitab tersebut berjudul Tasmiyatu Masyayikhi Abi Abdirrahman an-Nasa’i. semisal Qutaibah bin Said, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Daud, dan Imam at-Tirmidzi.

Pernah pada suatu kesempatan ketika Imam an-Nasa’I di Mesir, beliau menghadiri pengajian yang diadakan oleh al-Harist bin Miskin. Dalam pengajian tersebut Imam an-Nasa’I kebetulan mengenakan pakaian yang ukup mewah. Mengetahui pakaian seperti itu, al-Harist salah paham khawatir pakaian yang dikenakan Imam an-Nasa’I adalah pakaian yang berbau pemerintah. Al-Harist hawatir hal itu menjadi aib bagi dirinya. Al-Harist pun melarang Imam an-Nasa’i memasuki majlis untuk berkumpul bersama santri-santri yang lain.

Namu kaingintahuan Imam an-Nasa’I begitu kuat. Dengan disertai kahati-hatian dan hati tulus untuk mencari ilmu dan ridha guru, Imam an-Nasa’I tetap mendengarkan apa yang akan disampaikan sang guru dalam majlis tersebut. Untuk bisa mendengarkan beliau rela mengambil posisi dibalik pintu atau tembok.

Usaha Imam an-Nasa’I tidak hanya sampai disitu. Dalam catatan litab yang beliau karang, ketika terdapat hadis yang periwayatannya dari al-Harist bin Miskin, Imam an-Nasa’I tidak menggunakan redaksi “Aku mendengar dari al-Harist……..” tapi beliau menggunakan redaksi “Hadis ini dibacakan kepadaku” atau yang searti, sekiranya hadis yang ditulis tersebut tidak terkesan diterima dari al-Harist bin Miskin.

DARI AS-SUNAN KUBRA HINGGA AS-SUNAN AN-NASA’I

Imam an-Nasa’I mewariskan banyak karya berharga yang sulit dilupakan dunia. Terbukti tidak sedikit dari karya beliau yang menjadi rujukan dan referensi generasi setelah beliau. Diantara karya beliau yang begitu banyak, salah satu masuk dalam kategori al-Kutub as-Sittah, yaitu as-Sunan an-Nasa’i.
as-Sunan an-Nasa’i. adalah kitab hasil perampingan dari kitab beliau sebelumnya, as-Sunan Kubra. Ketika rampung menulis as-Sunan Kubra, beliau menawarkannya kepada wali kota Ramalah. Lantas wali kota bertanya, “Apakah seluruhnya berupa hadis shahih?”

beliau menjawab, “Ada yang Shahih, Hasan, Adapula yang hamper serupa dengannya.”

“Kalau begitu pisahkan hadis yang shahih saja.”

Melalui permintaan inilah beliau menyeleksi semua hadis yang telah tertuang dalam as-Sunan Kubra dengan ketat. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap kitab yang berjumlah ± 12.000 hadis ini hingga menjadi as-Sunan ash-Shugra.

As-Sunan ash-Sughra juga dikenal dengan nama al-Mujtaba atau al-Mujtana, tetapi kemudian lebih popular dengan nama as-Sunan an-Nasa’i.

Menurut sebuah keterangan yang tercantum dalam kitab Jami’ul-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’I, karena memang Mazhab inilah yang beliau anut.

Jika dibandingkan dengan kitab bukhari dan muslim, kitab ini berada dalam urutan ketiga dari segi otentisitas. Hal itu karena seleksi hadis yang dilakukan an-Nasa’I dalam mencantumkan hadis dibawah standard Buhkari-Muslim, meskipun, di kitab ini sulit di temukan hadis dha’if.

Pada tahun 302 H, kala itu an-Nasa’i berada di Damaskus. Di sana ia mengalami sakit, lantas beliau meminta agar di pindahkan ke Makkah. Tidak lama kemudian beliau wafat dalam usia 88 Tahun, pada Sya’ban 303 H (915 M). Beliau dimakamkan di suatu tempat antara bukit Shafa dan Marwa.

Semoga Bermanfaat. Silahkan diShare, Like, Atau Komentar

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Seo Blogger