KITABNYA PALING SHAHIH SETELAH
KITAB BUKHARI-MUSLIM
Abad ke-3 hijriah adalah sebuah
masa dimana pembukuan hadis sedang semarak. Dan Ishaq bin Rahawaih (161-238 H)
adalah salah satu motor penggeraknya. Usaha ishaq ini dilanjutkan dan
ditingkatkan oleh murid-muridnya, termasuk juga dilanjutkan oleh an-Nasa’I
dengan kitab sunannya.
RIHLAH HINGGA PERBATASAN ROMAWI
Dalam kehidupan sehari-hari beliau
lebih sering dipanggil nama kun-yahnya, Abu Abdirrahman. Sedangkan nama lengkapnya
adalah Ahmad bin Ali bin Sinan bin Bahr. Lahir pada tahun 215 H disebuah desa
yang bernama Nasa, wilayah Khurasan yang sekarang berada di daerah
Turkmenistan.
Abu Abdirrahman menjalani masa
kacilnya hingga usia remaja di Nasa. Dan dimasa inilah beliau menimba ilmu
disalah satu madrasah Nasa. Dalam menuntut ilmu Abu Abdurrahman terkenal dengan
ketekunan dan kegigihannya. Keteguhan dan kegigihan tersebut dibuktikannya
dengan berhasil menghafal al-Qur’an sejak kecil.
Karena ilmu adalah cahaya, maka ketika
usia Abu Abdurrahman belum genap 15 tahun, beliau membulatkan niat untuk
meninggalkan tempat kelahiran dengan melakukan rihlah ke berbagai daerah guna
mencari cahaya ilmu yang tersebar dipusat-pusat keilmuan islam. Dengan demikian
hati beliau mendapat tambahan cahaya keilmuan seiring dengan bertambahnya guru
dan semakin jau rihlah yang beliau tempuh.
Dalam lawatan ilmiah beliau pernah
singgah di daerah Baghlan. Di sana Abu Abdurrahman berguru kepada Qutaibah bin
Said, salah satu guru Imam Muslim. Ini terjadi pada tahun 230 H. bersama sang
guru beliau lalui selama 14 bulan, sehingga diakhir perjumpaannya dengan
Qutaibah bin Said beliau telah menguasai berbagai disiplin ilmu,termasuk Hadis.
Cakupan daerah atau kota yang
pernah disinggahi oleh Abu Abdurrahman begitu luas, sehingga ia bisa
mempelajari dan mendengarkan berbagai macam disiplin ilmu dan membuat keilmuan
beliau tidak diragukan lagi. Diantaratempat yang pernah beliau singgahi dalam
rangka mencari ilmu adalah Khurasan; Irak yang mencakup Baghdad, Kufah,
Bashrah, dan Mosul; Syam;Hijaz; Mesirdan perbatasan wilayah islam dengan
kkekuasaan Romawi.
DEMI RIDHA GURU
Selain popular dengan nama Abu
Abdurrahman, beliau juga sering disebut dengan nama an-Nasa’I, sebuah nama yang
dinisbatkan pada tempat kelahiran beliau. Bahkan nama inilah yang akhir-akhir
ini disematkan kepada guru dari Ja’far ath-Thahawi ini.
Imam an-Nasa’I adalah potret
seorang murid yang gigih, dan semangat yang tertancap dalam dirinya seakan
enggan untuk luntur. Terbukti orang yang pernah menjadi guru an-Nasa’I begitu
banyak. Bahkan beliau menulis suatu kitab siapa saja yangpernah mengajar dan
pernah meriwayatkan hadis kepada Imam an-Nasa’I. kitab tersebut berjudul Tasmiyatu
Masyayikhi Abi Abdirrahman an-Nasa’i. semisal Qutaibah bin Said, Ishaq bin
Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu
Daud, dan Imam at-Tirmidzi.
Pernah pada suatu kesempatan ketika
Imam an-Nasa’I di Mesir, beliau menghadiri pengajian yang diadakan oleh
al-Harist bin Miskin. Dalam pengajian tersebut Imam an-Nasa’I kebetulan
mengenakan pakaian yang ukup mewah. Mengetahui pakaian seperti itu, al-Harist
salah paham khawatir pakaian yang dikenakan Imam an-Nasa’I adalah pakaian yang
berbau pemerintah. Al-Harist hawatir hal itu menjadi aib bagi dirinya.
Al-Harist pun melarang Imam an-Nasa’i memasuki majlis untuk berkumpul bersama
santri-santri yang lain.
Namu kaingintahuan Imam an-Nasa’I
begitu kuat. Dengan disertai kahati-hatian dan hati tulus untuk mencari ilmu
dan ridha guru, Imam an-Nasa’I tetap mendengarkan apa yang akan disampaikan
sang guru dalam majlis tersebut. Untuk bisa mendengarkan beliau rela mengambil
posisi dibalik pintu atau tembok.
Usaha Imam an-Nasa’I tidak hanya
sampai disitu. Dalam catatan litab yang beliau karang, ketika terdapat hadis
yang periwayatannya dari al-Harist bin Miskin, Imam an-Nasa’I tidak menggunakan
redaksi “Aku mendengar dari al-Harist……..” tapi beliau menggunakan redaksi
“Hadis ini dibacakan kepadaku” atau yang searti, sekiranya hadis yang ditulis
tersebut tidak terkesan diterima dari al-Harist bin Miskin.
DARI AS-SUNAN KUBRA HINGGA
AS-SUNAN AN-NASA’I
Imam an-Nasa’I mewariskan banyak
karya berharga yang sulit dilupakan dunia. Terbukti tidak sedikit dari karya
beliau yang menjadi rujukan dan referensi generasi setelah beliau. Diantara
karya beliau yang begitu banyak, salah satu masuk dalam kategori al-Kutub
as-Sittah, yaitu as-Sunan an-Nasa’i.
as-Sunan an-Nasa’i. adalah
kitab hasil perampingan dari kitab beliau sebelumnya, as-Sunan Kubra. Ketika
rampung menulis as-Sunan Kubra, beliau menawarkannya kepada wali kota
Ramalah. Lantas wali kota bertanya, “Apakah seluruhnya berupa hadis shahih?”
beliau menjawab, “Ada yang Shahih,
Hasan, Adapula yang hamper serupa dengannya.”
“Kalau begitu pisahkan hadis yang
shahih saja.”
Melalui permintaan inilah beliau
menyeleksi semua hadis yang telah tertuang dalam as-Sunan Kubra dengan
ketat. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap kitab yang
berjumlah ± 12.000
hadis ini hingga menjadi as-Sunan ash-Shugra.
As-Sunan ash-Sughra juga
dikenal dengan nama al-Mujtaba atau al-Mujtana, tetapi kemudian
lebih popular dengan nama as-Sunan an-Nasa’i.
Menurut sebuah keterangan yang
tercantum dalam kitab Jami’ul-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan
pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’I, karena memang Mazhab inilah yang
beliau anut.
Jika dibandingkan dengan kitab
bukhari dan muslim, kitab ini berada dalam urutan ketiga dari segi otentisitas.
Hal itu karena seleksi hadis yang dilakukan an-Nasa’I dalam mencantumkan hadis
dibawah standard Buhkari-Muslim, meskipun, di kitab ini sulit di temukan hadis
dha’if.
Pada tahun 302 H, kala itu
an-Nasa’i berada di Damaskus. Di sana ia mengalami sakit, lantas beliau meminta
agar di pindahkan ke Makkah. Tidak lama kemudian beliau wafat dalam usia 88
Tahun, pada Sya’ban 303 H (915 M). Beliau dimakamkan di suatu tempat antara
bukit Shafa dan Marwa.
Semoga Bermanfaat. Silahkan diShare, Like, Atau Komentar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar