Atha’ bin Abi Rabah Budak Yang Menjadi Mufti Makkah
Sekitar
paruh kedua dari abad pertama hijriah, di Makkah hidup seorang laki-laki
berkulit hitam keturunan Habasyah yang berambut keriting, berhidung pesek,
berbibir tebal, matanya buta sebelah serta kaki dan tangannya cacat. Meskipun
demikian dia adalah seorang yang kharismatik yang disegani oleh penduduk
Makkah. Seorang yang fatwanya diterima ketika Sahabat Nabi masih ada. Seorang
yang paling mengetahui tentang hajidan seorang yang derajatnya lebih mulia
dariraja.
Atha’ bin Abi Rabah Budak Yang Konsisten Dengan Waktu
Dia adalah Atha’
bin Abi Rabah, al-Makki. Teladan yang memiliki Kun-yah Abu Muhammad ini lahir
pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan dari pasangan yang bernama Abi
Rabah yang bernama asli Aslam (Ayah) dan Barakah (Ibu) di suatu kota yang
bernama Janad, Yaman.
Ia tumbuh
dewasa di Makkah. Dia Atha’ kecil menjalani kesehariannya dengan menjadi
seorang budak bagi Bani Fihr (menurut sumber lain menjadi budak dari bani
Jumah). Hal ini tidak membuatnya terputus untuk mereguk segarnya warisan
Nabawi, Ilmu.
Ia adalah
sosok yang hebat dalam membagi waktu. Ia tidak mau kehilangan waktunya dengan
pekerjaan yang sia-sia. Hamper setiap guliran detik diisinya dengan aktivitas
yang berguna bagi tuhan, majikan, dan dirinya. Ia gunakan waktunya dengan
beribadah kepada Allah, berkhidmah kepada majikannya, dan belajar untuk
mengentaskan dirinya dari kebodohan.
Rupanya,
majikan Abu Muhammad tergerak hatinya untuk segera memerdekakan budaknya ketika
mengetahui bahwa Atha’ adalah budak yang hebat dalam mengatur waktu untuk
ibadah dan belajar.
Ad-Daraquthni
berkata, “Atha’ berkata, ‘aku telah bertemu dan belajar kepada lebih dari
dua ratus sahabat Rosulullah SAW.’”
Di antara
mereka adalah Sayidah Aisyah, Ummu Salamah, Ummu Hani’, Abu Hurairah, Ibnu
Abbas, Hakîm bin Hazâm, Râfi’ bin Khadîj, Zaid bin Arqam, Ibnu Zubair, Abdullah bin Amr, Ibnu Umar,
Zaid bin Khalid al-Juhani, Shafwan bin Umayyah, dan sahabat-sahabat yang lain.
Atha’ bin Abi Rabah Selama 20 Tahun Hidup Di Masjid
Selepas dari
tali perbudakan Abu Muhammad mendedikasikan dirinya untuk ilmu. Tidak ada hari
tanpa belajar disiplin ilmu. Ia fokuskan waktunya untuk belajar dan ibadah.
Meski
langkah kakinya tidak sempurna disebabkan cacat pada kakinya yang dibawa sejak
kecil, ia masih berusaha sekuat tenaga untuk mendatangi rumah para ilmuan
sahabat atau tabiin. Ia rela menempuh jarak yang begitu jauh demi memperoleh
ilmu, tanpa menghiraukan cacat pada tubuhnya.
Akibat
perjuangannya yang tidak kenal lelah ini ia peroleh derajat yang begitu luhur
di bidang keilmuwan. Ia begitu di segani di Masjidil Haram akibat keluasan dan
kedalaman ilmunya. Ia pun di juluki Sayyidu Fuqahâil-Hijâz oleh orang-orang sekitarnya.
Karena tidak
memiliki tempat tinggal tetap, ia pun memilih rumah Allah, baitullah, sebagai
tempat tinggal. Ia amalkan ilmunya yang berkaitan dengan Ubudiyah di Masjid.
Yahya bin Said berkata, “Bagi Atha’, Masjid adalah tempat tinggalnya selama
20 tahun. Ia adalah orang yang paling bagus salatnya.”
Ibnu Juraij
bercerita mengenai kebersamaan dirinya menemani Atha’ selama 13 tahun di
Masjid. “Sungguh aku bersamanya 13 tahun. Di masa tuanya ketika fisiknya
telah melemah, ia salat dengan membaca 200 ayat dari surah al-Baqarah dalam
keadaan kokoh berdiri.”
Atha’ bin Abi Rabah Adalah Orang yang Disegani Khalifah
Jangankan
rakyat jelata, raja pun tunduk dan patuh ketika berhadapan dengan Abu Muhammad.
Pengaruh pemerintahan takluk pada karisma ilmu yang dimiliki Abu Muhammad.
Pernah suatu ketika Khalifah ke tujuh dari Bani Umayah, Sulaiman bin Abdul
Malik, bersama kedua putranya mendatangi masjid untuk menemui sang mufti
Makkah, yang tak lain adalah Abu Muhammad sendiri. Waktu itu, sang khalifah
tidak diperlakukan selayaknya khalifah sebagaimana ketika ada di istana oleh
Abu Muhammad. Bahkan Sulaiman bin Abdul
Malik rela menunggu beberapa saat sebelum memulai bertanya kepada Abu Muhammad.
Kedua putra
mahkota merasa heran melihat tingkah laku Abu Muhammad yang tidak memuliakan
Sulaiman bin Abdul Malik sama sekali. Sulaiman pun memecahkan keisykalan kedua
putranya ini dan berkata, “Wahai anakku, pria yang kalian lihat dan aku yang
berlaku hormat di hadapannya tadi adalah Imam Atha’ bin Abi Rabah, seorang yang
berhak berfatwa di Masjidil Haram dan pewaris ilmu Abdullah bin Abbas, (oleh
karenanya) pelajari (dan amalkan) ilmu! Sebab dengan ilmu, rakyat jelata bisa
jadi mulia dan seorang budak bisa mengalahkan dersjst seorang raja.”
Tidak
berbeda dengan Sulaiman bin Abdul Malik, Hisyam bin Abdul Malik juga
diperlakukan sama. Ketika Abu Muhammad hendak menemui Khalifah Hisyam di
istana, Abu Muhammad hanya mengenakan baju yang harganya tidak lebih dari 5
dirham.
Mengetahui
kalau Abu Muhammad ada di pintu istana, Hisyam menyambut dengan hangat sang
mufti. Bahkan sambutannya lebih istimewa dari pada tamu Hisyam yang lain. Para
bangsawan yang menjadi tamu Hisyam tidak berani angkat bicara ketika Abu
Muhammad memasuki ruang tamu istana.
Hisyam bin
Abdul Malik tunduk patuh dan menuruti perkataan Abu Muhammad. Di akhir
perkataannya Abu Muhammad berpesan kepada Hisyam, “Takutla kepada Allah,
jangan melakukan ke dzaliman. Sesungguhnya manusia dilahirkan tanpa teman, mati
tanpa teman, dibangkitkan tanpa teman, bahkan di hisabpun juga tanpa teman
(teman tidak bisa membantu ketika sudah berhadapan dengan Allah).”
Mendengar
petuah yang menusuk hati ini, Khalifah Hisyam bin Abdul Malik menangis hangga
tanah di bawahnya menjadi basah.
Begitu
selesai, Abu Muhammad bangun dan pulang. Ketika hendak di beri bungkusan yang
berisi uang, Abu Muhammad menolak seraya mengutip ayat al-Quran yang berbunyi,
“dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu;
upahku tidak lain hanyalah dari tuhan semesta alam.” (QS asy-Syuara’ [26]:
109)
Jangankan
uang, Abu Muhammad tidak meminum setetes air yang disuguhkan ketika diistana.
Dekat Dengan Rakyat Kecil
Sosok yang
tawadu’, Zuhud, dan tampil apa adanya ini tidak hanya berdakwah dikalangan
elit. Bahkan rakyat jelata pun menjadi medan dakwah sekaligus sasaran
mengajarnya. Hal ini sebagaimana dialami oleh Imam Abu Hanifah ketika hendak
memangkas rambutnya untuk Tahallul.
Sebelum
rambutnya dipangkas, Abu Hanifah menanyakan berapa ongkos dari jasa tersebut.
Pemangkas rambut pun menjawab bahwa orang yang berhaji tidak di tetapkan
ongkos. Abu HAnifah pun merasa mali atas tingkahnya ini.
Berikutnya
Abu Hanifah melakukan kesalahan lagi dengan tidak menghadap kiblat, dan tidak
membaca takbir ketika tukang pangkas rambut hendak mencukur rambutnya. Lagi-lagi
Abu Hanifahharus malu disebabkan orang yang mengingatkannya agar menghadap
kiblat dan membaca takbir adalah tukang pangkas itu dendiri.
Abu Hanifah
semakin penasaran dengan lelaki pemangkas rambut ini ketia ia di ingatkan agar
segera melakukan shalat dua rakaat sebelum melakukan perjalanan ketika selesai
di cukur. Setelah ditanya, tukang pangkas rambut itu menjawab bahwa beberapa
perkara tadi adalah di pelajarinya dari Imam Atha’ bin Abi Rabah.
Wafatnya Imam Atha’ bin Abi Rabah
Ulama’
mujtahid yang menggantikan Abdullah bin Abbas sebagai mufti di Makkah dan
pernah melakukan ibadah haji sebanyak 70 kali ini, wafat pada bulan Ramadhan
tahun 114 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar