Tak Segan Koreksi Pemikiran al-Nawawi
Nama lengkapnya Abdurahim Ibn Hasan Ibn Ali Ibn Ibrahim
al-Amuwi, dikenal dengan Jamaluddin Abu Muhammad al-Isnawi. Lahir di Isna,
sebuah kota subur didataran tinggi pinggir kiri sungai Nil.
Ia lebih masyhur disebut dengan al-Isnawi, nama nisbatnya
terhadap kota kelahirannya. Ada pula yang menyebutnya al-Asnawi, dengan huruf
hamzah yang dibaca fathah.
al-Isnawi dilahirkan pada tanggal 20 Dzul Hijjah tahun 704
H. Sampai menginjak usia remaja, al-Isnawi berada di tengah-tengah keluarganya
di Isna. Menginjak usia 17 tahun, empat tahun setelah ditinggal sang ayah,
al-Isnawi remaja meninggalkan keluarga dan memperdalam agama ke Kairo dan
menetap disana.
al-Isnawi berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, Hasan bin
Ali bin Umar al-Isnawi (w. 717 H) adalah seorang ulama di Isna. Saudaranya
Imaduddin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Umar al-Isnawi (w. 764 H) adalah
seorang pakar fikih terkenal. Saudaranya yang lain, Nuruddin Ali bin Hasan
al-Isnawi (w. 775 H) juga pakar fikih yang memiliki banyak karya.
Dilahirkan Dan Melahirkan Ulama Besar
Selama melakukan studi, al-Isnawi memiliki prestasi keilmuan
yang cukup menakjubkan. Ia seorang murid yang cerdas. Ia berhasil menghafal
kitab at-Tanbih karya Imam al-Syirazi hanya dalam waktu enam bulan.
Selain itu, ia melakukan penelitian mendalam terhadap referensi-referensi
penting dalam bidang fikih. Ia mempelajari dengan cermat karya besar Imam
al-Nawawi, al-Raudhah juga karya Imam ar-Rafi’i, al-syarhul-Kabir. Tidak
ada sedikitpun celah yang tidak beliau pahami dari dua kitab besar ini. Selain
itu ia juga mengkaji secara mendalam kitab al-Hawi karya al-Mawardi dan al-Syamil
karya Ibn Shibagh.
al-Isnawi mendalami karya besar Imam al-Syafi’i, kitab al-Umm
(Kitab Induk). Begitu juga karya-karya murid al-Syafi’i seperti ringkasan (Mukhtashar)
al-Muzanni dan al-buwaythi.
Kepakaran al-Isnawi didapat berkat didikan guru-guru besar
dimasanya. Ia belajar fikih kepda Taqiyuddin al-Subki, Majd al-Zankiluni, dan
Imam al-Zarkasyi (w. 792). al-Isnawi juga mendalami kesusastraan dan tata
bahasa arab dari Abu Hasan al-Nahwi, Abu Hayyan al-Dalusi dan Majduddin
al-Fairuzabadzi yang dikenal dengan sebutan Shahib al-Qamus . ia juga
mendalami Hadis dari al-Dabusi, Abd al-Muhsin al-Shabuni dan Abd Qadir Ibn
Muluk.
Selain menimba Ilmu, al-Isnawi juga menyiramkan ilmu. Tangan
al-Isnawi berhasil melahirkan beberapa ulama’ besar, seperti Ibn Imad (w. 808
H), Ibrahim al-Baijuri (w.825 H) Ibn Husain al-Maraghi (w. 819 H), dan Abu
al-Baqa’ al-Dumayri (w. 808), pengarang Hayatul-Hayawan.
Melambung Dikancah Hukum Islam
al-Isnawi menguasai banyak bidang keilmuan. Selain pakar
fikih, al-Isnawi juga pakar Ushul Fikih, Nahwu, Arudh (teknik pembuatan syair),
dan lain sebagainya. Dari sekian banyak bidang itu, yang paling menonjol adalah
fikih dan ushul fikih.
al-Isnawi adalah pengikut madzhab Syafi’i. Di Mesir, ia
termasuk ulama’ tenar dalam bidang fikih madzhab Syafi’i. Ia diangkat sebagai
dewan fatwa madzhab Syafi”i di Mesir.
Keahlian al-Isnawi yang sangat hebat dibidang fikih
tergambat dari karyanya Syrhul-Minhaj. Kitab ini merupakan Syarah dari
kitab Minhaj al-Thalibin, karya al-Nawawi. Ia juga menulis Syarh
al-Tanbih. Selain itu ada beberapa karya dari al-Isnawi yang masih belum
rampung karena keburu wafat, seperti Talkhish al-Rafi’. Kitab ini
ditulis oleh al-Isnawi sampai pada bab Bai’ (Jual-Beli).
Sedangkan dibidang ushul fikih al-Isnawi menulis al-Tamhid
fi Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul. Kitab ini selesai di usianya yang sudah
hampir udzur pada tahun 768 H. Di bidang ini, al-Isnawi juga telah menulis
Syarh dari kitab al-Minhaj karya Qadhi al-Baidhawi (w. 615 H).
al-Isnawi termasuk ilmuwan yang berani berpolemik. Ia tidak
segan-segan mengkeritik al-Rawdhah, karya besar an-Nawawi yang menjadi
rujukan sangat penting dalam bidang fikih. Untuk keritikannya itu, al-Isnawi
menyusun sebuah kitab khusus dengan judul al-Muhimmat.
Keberanian al-Isnawi ini memancing polemik fikih yang cukup
hangat. Ulama mendukung al-Isnawi tidak seberapa banyak dibanding yang
menentangnya. Ada 16 karya yang ditulis oleh ulama fikih khusus untuk menolak
kritikan al-Isnawi. Hal ini juga terlepas dari pengaruh Imam al-Nawawi yang
sangat kuat di kalangan pengikut madzhab Syafi’i.
Ibn Imad, salah satu murid al-Isnawi, termasuk ulama yang
menolak keritikan terhadap al-Raudhah itu. Ia menulis al-Ta’liq Ala
al-Muhimmat. Disitu Ibn Imad banyak mengungkap kesalahan keritik dari
al-Isnawi yang disebabkan oleh tidak paham dan tidak bisa menolak persoalan.
Bersama Masyarakat
Meski menjadi orang besar di Mesir, al-Isnawi tetap selalu
menampakkan sikap rendah hati. Ia dikenal sangat baik pada orang-orang di
sekitarnya. Tutur katanya manis dan ramah, sehingga ia disenangi oleh masyarakat
dari berbagai kalangan.
Kelebihan-kelebihan ini membuat kata-kata yang keluar dari
al-Isnawi mudah di terima. Rangkaian kalimatnya begitu halus ketika memberi
nasehat, ia tidak berbelit-belit namun mengena. Sehingga, orang yang mendapat
nasehat menyadari kesalahannya, tanpa sedikitpun memanggul perasaan marah dan
tersinggung.
Namun demikian, al-Isnawi tetap keritis jika melihat sesuatu
yang tidak sesuai dengan pikiran dan perinsipnya. Ia pernah diangkat menjadi
pemimpin Hisbah dan perwakilan Bayt al-Mal (keuangan negara).
Tapi, pada akhirnya ia mengundurkan diri dari dua jabatan penting itu, konon
karena berseteru dengan Ibn Quzaynah, salah satu mentri.
Wafat
Imam al-Isnawi wafat di usia 67 di pertengahan tahun 772 H,
tepatnya pada malam Ahad 18 Jumadil Ula. Kepergiannya menyisakan rasa
kehilangan yang begitu besar terutama dari masyarakat Mesir. Jenazahnya diantar
dari gubahan-gubahan syair kesedihan sampai di peristirahatan terakhirnya.
Melihat pemakaman itu, kata al-Zarkasyi, sangat layak bila al-Isnawi disebut
sebagai wali.
Semoga Bermanfaat. Silahkan diShare, Like, Atau Komentar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar