Kamis, 26 Maret 2015

Salim bin Abdullah, Tokoh Tabiin (w. 106 H.)


Potret Umar al-Faruq Di Masa Tabiin

Dia adalah seorang Imam mujtahid. Salah satu dari tujuh serangkai Ulama Madinah yang masyhur. Salah satu mata rantai emas (ashahhul-asânîd) dalam disiplin Ilmu Hadis. Berpendirian kuat. Berkarakter dan religius. Senantiasa berpenampilan ala kadarnya. Dia adalah tokoh tabiin yang merupakan cucu dari Sayyidina Umar bin al-Khaththab ra. Terlahir dari seorang ayah terpandang, Abdullah bin Umar, dan seorang ibu dari putri Yazdajard, kisra terakhir Persia. Sedangkan bibinya adalah seorang Ummul Mukminin, Sayidah Hafshah.

Keluarga Qurani

Beliau lahir di Madinah pada masa Sayidina Ustman menjadi khalifah dan wafat pada tahun 106 di kota Madinah. Ia tumbuh di keluarga kurani. Keluarga yang berkarakter al-Quran dan Hadis. Keluarga yang membiasakan berpegang teguh pada al-Quran dan Hadis. Keluarga yang menjadikan al-Quran dan Hadis sebagai imam atas segala perbuatan.

Dari kebiasaan keluarga qurani inilah Salim menjadi seorang bocah yang tumbuh dewasa dengan al-Quran dan Hadis. Pola pikir dan karakternya adalah qurani. Oleh karena itu, Salim begitu dicintai keluarganya, lebih-lebih ayahnya Abdullah bin Umar.

Untuk memperkokoh karakter qurani ini, Salim memoles dengan berbagai macam ilmu yang didapat dari sang ayah dan para sahabat yang masih ada. Diantara gurunya adalah Abu Hurairah, Sayidah Aisyah, Abu Ayub al-Anshari, Abu Lubadah bin Rafi’ bin Khadij.

Referansi Rakyat Dan Pejabat

Akibat kistikamahan dan kesabaran Salim bermulazamah bersama guru, dalam waktu yang tidak begitu lama, ia telah menjadi pribadi yang berwawasan luas. Juga menjadi media bertanya Masyarakat Madinah. Masyarakat Madinah begitu simpati pada Salim. Sebab hampir semua masalah yang dihaturkan padanya selalu mendapat solusi positif. Selain itu, dibalik kecintaan masyarakat yang begitu antusias kepadanya adalah dikarnakan tutur kata salim yang halus dan manis. Enak didengar.

Selain rakyat, tidak jarang pejabatpun sering mendatangi Salim guna meminta saran atau bertanya hukum. Syekh Rabiah pernah berkata, “Saat itu, satu problem dihaturkan pada said bin al-Musayyab, namun ketika beliau wafat, problem itu dihaturkan kepada al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar dan Salim bin Abdullah bin Umar.

Potret Sayidina Umar

Kehidupan, keperibadian dan akhlak Salim dengan kakeknya, Umar al-Faruq, begitu mirip, tidaklah jauh berbeda. Pribadi zuhud begitu nampak dari prilaku dan pakaian Salim. Sifat-sifat Salim begitu menyerupai kakeknya, Umar bin Khathab. Salim lebih sering terlihat menggunakan pakaian yang berbahan kasar dan mengkonsumsi makanan yang sulit dicerna. Padahal, waktu itu Salim tinggal di kota Madinah yang makmur dan serba tercukupi. Kenikmatan berlimpah ruah di kota ini. Berbagai kebutuhan mudah di temukan. Namun Salim tetaplah pada pendiriannya yang tidak suka akan kenikmatan sementara.

Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik pernah bertemu beliau yang sedang melaksanakan ibadah haji di Baitullah dan menawarkan beberapa keperluan dunia kepda Salim, “Apa yang menjadi kebutuhan anda wahai Salim?” Tanya khalifah.

“Sungguh aku malu. Bagaimana aku mengetakan keperluan dunia pada selain Allah, padahal aku sedang dirumah-Nya,” Jawab Salim.

Kemudian khalifah menemui Salim diluar Baitullah. Lantas khalifah berkata kepada Salim, “Kita sudah diluar Baitullah. Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan anda!?

Salim menjawab, “saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada pemiliknya (Allah), bagaimana saya meminta dunia kepada yang bukan pemiliknya?

Khalifah pun mundur diri dan bergumam, “betapa mulianya keluarga al-Khathab karena zuhud dan takwa. Betapa kayanya kalian dengan Allah. Bârakallah.

Salim Versus al-Hajjaj

Salah satu sifat Salim yang nampak sama dengan al-Faruq adalah keberanian tanpa takut resiko yang akan dihadapi. Sifat ini sebagaimana dalam cerita Salim ketika mengunjungi al-Hajjaj bin Yusuf.
Al-Hajjaj menyambut Salim dengan dipersilahkan duduk di sisi singgasana dan diperlakukan istimewa. Tidak lama kemudia dibawalah beberapa orang yang wajahnya pucat pasi menghadap al-Hajjaj. Lantas al-Hajjaj menoleh kepada Salim dengan menyodorkan pedang dan berkata, “Salim, mereka adalah para pembuat onar, dan pelaku apa yang telah Allah haramkan. Bunuhlah mereka dengan pedang ini.

Salim tidak langsung menebas leher para tawanan. Ia masih bertanya beberapa hal mengenai keislaman tawanan dan salat shubuh hari itu. Tawanan pun menjawab bahwa mereka adalah orang muslim dan melaksanakan salat subuh pada hari itu.

Lalu Salim melempar pedang kehadapan al-Hajjaj dan berkata, “Dia mengaku muslim, juga telah melaksanakan salat subuh maka ia ada dalam tanggungan Allah. Lantas apakah aku akan memenggal orang yang sedang berada dalam tanggungan Allah?

Mendengar teguran pedas itu, al-Hajjaj marah dan berkata, “mereka akan dibunuh bukan karena meninggalkan shalat, tapi karena keterlibatan mereka dalam tragedi terbunuhnya Sayidina Utsman.

Bukankah ada yang lebih berhak menuntut darah Sayidina Utsman dari pada aku dan anda?” Tanya Salim tegas.

Lantas al-Hajjaj diam membisu. Berita ini pun sampai ke telinga Abdullah bin Umar. Lantas Ibnu Umar bahagia dan berkomentar, “Bagus, bagus, cerdas, cerdas.

Surat Umar bin Abdul Aziz

Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik (tahun 99 H), khalifah baru ini mengirim surat kepada Salim agar berkenan mengirim buku-buku yang berkaitan dengan Umar bin Khathab, putusan-putusan dan sejarahnya. Sebab, khalifah baru ini ingin mengikuti jejak Sayidina Umar. Salim pun menjawab surat tersebut. Isinya seperti berikut (sebagaimana dalam Shuwar min Hayâtit-Tâbi’în):


"Amma ba’du, Allah menguji anda untuk mengurus umat tanpa anda pinta, sedangkan anda menginginkan jalan seperti apa yang dilalui Umar dan tidak didampingi seperti para pendamping Umar. Ketahuilah, jika anda berniat baik untuk berbuat baik, niscaya Allah akan membantu anda dan para pejabat. Sebab, pertolongan Allah berdasarkan niat hamba-Nya. Jika nafsu mengajak pada perbuatan yang tidak di ridhai Allah, maka ingatlah apa yang dialami para penguasa sebelum anda. Perhatikanlah bagaimana mata mereka rusak karena melihat kenikmatan. Perut mereka pecah karena kenyang oleh syahwat. Bayangkanlah, andaikan mayat mereka diletakkan di samping rumah, tentulah baunya akan menusuk hidung dan menjadi penyakit yang menjalar. Wassalam."

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Seo Blogger