Potret Umar al-Faruq Di Masa Tabiin
Dia adalah
seorang Imam mujtahid. Salah satu dari tujuh serangkai Ulama Madinah yang
masyhur. Salah satu mata rantai emas (ashahhul-asânîd) dalam disiplin Ilmu Hadis. Berpendirian
kuat. Berkarakter dan religius. Senantiasa berpenampilan ala kadarnya. Dia
adalah tokoh tabiin yang merupakan cucu dari Sayyidina Umar bin al-Khaththab
ra. Terlahir dari seorang ayah terpandang, Abdullah bin Umar, dan seorang ibu
dari putri Yazdajard, kisra terakhir Persia. Sedangkan bibinya adalah seorang
Ummul Mukminin, Sayidah Hafshah.
Keluarga Qurani
Beliau lahir di
Madinah pada masa Sayidina Ustman menjadi khalifah dan wafat pada tahun 106 di
kota Madinah. Ia tumbuh di keluarga kurani. Keluarga yang berkarakter al-Quran
dan Hadis. Keluarga yang membiasakan berpegang teguh pada al-Quran dan Hadis.
Keluarga yang menjadikan al-Quran dan Hadis sebagai imam atas segala perbuatan.
Dari kebiasaan
keluarga qurani inilah Salim menjadi seorang bocah yang tumbuh dewasa dengan
al-Quran dan Hadis. Pola pikir dan karakternya adalah qurani. Oleh karena itu,
Salim begitu dicintai keluarganya, lebih-lebih ayahnya Abdullah bin Umar.
Untuk memperkokoh
karakter qurani ini, Salim memoles dengan berbagai macam ilmu yang didapat dari
sang ayah dan para sahabat yang masih ada. Diantara gurunya adalah Abu
Hurairah, Sayidah Aisyah, Abu Ayub al-Anshari, Abu Lubadah bin Rafi’ bin
Khadij.
Referansi Rakyat Dan Pejabat
Akibat
kistikamahan dan kesabaran Salim bermulazamah bersama guru, dalam waktu yang
tidak begitu lama, ia telah menjadi pribadi yang berwawasan luas. Juga menjadi
media bertanya Masyarakat Madinah. Masyarakat Madinah begitu simpati pada
Salim. Sebab hampir semua masalah yang dihaturkan padanya selalu mendapat
solusi positif. Selain itu, dibalik kecintaan masyarakat yang begitu antusias
kepadanya adalah dikarnakan tutur kata salim yang halus dan manis. Enak
didengar.
Selain rakyat,
tidak jarang pejabatpun sering mendatangi Salim guna meminta saran atau
bertanya hukum. Syekh Rabiah pernah berkata, “Saat itu, satu problem
dihaturkan pada said bin al-Musayyab, namun ketika beliau wafat, problem itu
dihaturkan kepada al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar dan Salim bin Abdullah
bin Umar.”
Potret Sayidina Umar
Kehidupan,
keperibadian dan akhlak Salim dengan kakeknya, Umar al-Faruq, begitu mirip,
tidaklah jauh berbeda. Pribadi zuhud begitu nampak dari prilaku dan pakaian
Salim. Sifat-sifat Salim begitu menyerupai kakeknya, Umar bin Khathab. Salim
lebih sering terlihat menggunakan pakaian yang berbahan kasar dan mengkonsumsi
makanan yang sulit dicerna. Padahal, waktu itu Salim tinggal di kota Madinah
yang makmur dan serba tercukupi. Kenikmatan berlimpah ruah di kota ini.
Berbagai kebutuhan mudah di temukan. Namun Salim tetaplah pada pendiriannya
yang tidak suka akan kenikmatan sementara.
Khalifah Sulaiman
bin Abdul Malik pernah bertemu beliau yang sedang melaksanakan ibadah haji di
Baitullah dan menawarkan beberapa keperluan dunia kepda Salim, “Apa yang
menjadi kebutuhan anda wahai Salim?” Tanya khalifah.
“Sungguh aku
malu. Bagaimana aku mengetakan keperluan dunia pada selain Allah, padahal aku
sedang dirumah-Nya,” Jawab Salim.
Kemudian khalifah
menemui Salim diluar Baitullah. Lantas khalifah berkata kepada Salim, “Kita
sudah diluar Baitullah. Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan anda!?”
Salim menjawab, “saya
tidak meminta kebutuhan dunia kepada pemiliknya (Allah), bagaimana saya meminta
dunia kepada yang bukan pemiliknya?”
Khalifah pun
mundur diri dan bergumam, “betapa mulianya keluarga al-Khathab karena zuhud
dan takwa. Betapa kayanya kalian dengan Allah. Bârakallah.”
Salim Versus al-Hajjaj
Salah satu sifat
Salim yang nampak sama dengan al-Faruq adalah keberanian tanpa takut resiko
yang akan dihadapi. Sifat ini sebagaimana dalam cerita Salim ketika mengunjungi
al-Hajjaj bin Yusuf.
Al-Hajjaj
menyambut Salim dengan dipersilahkan duduk di sisi singgasana dan diperlakukan
istimewa. Tidak lama kemudia dibawalah beberapa orang yang wajahnya pucat pasi
menghadap al-Hajjaj. Lantas al-Hajjaj menoleh kepada Salim dengan menyodorkan
pedang dan berkata, “Salim, mereka adalah para pembuat onar, dan pelaku apa
yang telah Allah haramkan. Bunuhlah mereka dengan pedang ini.”
Salim tidak
langsung menebas leher para tawanan. Ia masih bertanya beberapa hal mengenai
keislaman tawanan dan salat shubuh hari itu. Tawanan pun menjawab bahwa mereka
adalah orang muslim dan melaksanakan salat subuh pada hari itu.
Lalu Salim
melempar pedang kehadapan al-Hajjaj dan berkata, “Dia mengaku muslim, juga
telah melaksanakan salat subuh maka ia ada dalam tanggungan Allah. Lantas
apakah aku akan memenggal orang yang sedang berada dalam tanggungan Allah?”
Mendengar teguran
pedas itu, al-Hajjaj marah dan berkata, “mereka akan dibunuh bukan karena
meninggalkan shalat, tapi karena keterlibatan mereka dalam tragedi terbunuhnya
Sayidina Utsman.”
“Bukankah ada
yang lebih berhak menuntut darah Sayidina Utsman dari pada aku dan anda?”
Tanya Salim tegas.
Lantas al-Hajjaj
diam membisu. Berita ini pun sampai ke telinga Abdullah bin Umar. Lantas Ibnu
Umar bahagia dan berkomentar, “Bagus, bagus, cerdas, cerdas.”
Surat Umar bin Abdul Aziz
Ketika Umar bin
Abdul Aziz menjadi khalifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik (tahun 99 H),
khalifah baru ini mengirim surat kepada Salim agar berkenan mengirim buku-buku
yang berkaitan dengan Umar bin Khathab, putusan-putusan dan sejarahnya. Sebab,
khalifah baru ini ingin mengikuti jejak Sayidina Umar. Salim pun menjawab surat
tersebut. Isinya seperti berikut (sebagaimana dalam Shuwar min Hayâtit-Tâbi’în):
"Amma ba’du, Allah menguji anda untuk mengurus umat tanpa anda pinta, sedangkan anda menginginkan jalan seperti apa yang dilalui Umar dan tidak didampingi seperti para pendamping Umar. Ketahuilah, jika anda berniat baik untuk berbuat baik, niscaya Allah akan membantu anda dan para pejabat. Sebab, pertolongan Allah berdasarkan niat hamba-Nya. Jika nafsu mengajak pada perbuatan yang tidak di ridhai Allah, maka ingatlah apa yang dialami para penguasa sebelum anda. Perhatikanlah bagaimana mata mereka rusak karena melihat kenikmatan. Perut mereka pecah karena kenyang oleh syahwat. Bayangkanlah, andaikan mayat mereka diletakkan di samping rumah, tentulah baunya akan menusuk hidung dan menjadi penyakit yang menjalar. Wassalam."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar